Coba Buka!!

Monday, 3 November 2014

Cerpen Membangun, Cerpen Menginspirasi, Cerpen Pengusaha

Rasti Hartika Si Pengusaha Muda
Karya : Ario Chandra Purpratama

Siapa yang tidak tahu Rasti Hartika? Pengusaha mudah yang telah sukes merintis usahanya dari nol. Rasti Hartika telah menambah deretan pengusaha sukses di Indonesia. Bukan hal yang mudah ia mencapai semua itu. Sebab, banyak kekgagalan yang ia alami. Sehingga menjadi cahya yang terang untuk membuka harapan yang lebih baik.
Rasti Hartika adalah anak sulung dari lima bersaudara. Mungkin ia kurang beruntung menjadi anak sulung bukan karena ia tidak di pedulikan oleh orang tuanya tetapi, ia harus mengalah kepada adik-adiknya. Rasti sering di pangil “Nanda” sebagai panggilan sayang dari keluarganya.Rasti dilahirkan di tengah-tengah keluarga yang mempunyai kebutuhan lumayan banyak pengeluaranya. Gaji Ayahnya yang menjadi PNS dirasa kurang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, karena keluarga Rasti hidup di tengah-tengah kota metropolitan dengan penduduk yang memadati setiap inci kota. Di  luar segala kewajiban menjadi PNS, ayahnya juga terlibat aktif di dunia jusnalistik dan organisasi. Hal terebut mengharuskan bundanya harus membantu ayahnya menopang keuangan keluarganya dengan membuka warung kecil-kecilan. Menang hasil dari warung itu tidak seberapa tetapi, itu cukup membantu dari pada hanya mengandalkan gaji ayahnya.
Mentari menutup perlahan hari itu. Senja memerah di ufuk barat. Pertanda malam mulai datang menggantikan siang. Teriakan mesin-mesin kendaraan yang melewati mulai terdiam menjadi ketenangan. Di temani secangkir teh hangat Rasti duduk di atap rumahnya dengan kursi kayu yang sering menemaninya melamun melihat senja yang indah dan bangunan yang menjulang tinggi. Perlahan lampu-lampu mulai bekerja meratakan cahaya di setiap sudut kota menggantikan sinar mentari.
“Nanda, kamu sedang apa di situ?”, suara yang tak asing lagi bertanya kepadanya.
“Nanda, kamu sedang apa di siu?”, dua kali ayahnya memanggilnya.
“Eeee, iya Ayah. Maaf Rasti tidak mendengar. Rasti hanya sedang duduk,” ucap Rasti dengan nada kaget.
“Kamu melamun yaa, apa yang sedang Nanda pikirkan?”’, tanya ayah tercintanya.
Ayahnya mulai mendekati Rasti dan menemani duduk di dekatnya. Rasti bercerita tentang apa yang lagi dia rasakan kepada Ayahnya. Ayahnya berusaha memberi semangat. Terdengar kata yang menjadi semangat Rasti, “Nanda, kamu pasti bisa!”.
Semenjak itu, Rasti selalu teringat dengan barisan kata yang pernah menelusup ketelinganya. Kata-kata yang selalu terngiang mengusik disetiap lamunannya. Kata-kata Ayahnya itu laksana dentunan meriam yang menggoyahkan rongga dadanya. Semakin berat beban yang ia rasakan yang membuat semangat Rasti menggebu-gebu.
Baru enam bulan lalu Rasti lulus sekolah menengah atas dengan prestasi yang cukup memuaskan hati orang tuanya. Ia bersemangat untuk meneruskan kuliahnya. Rasti telah mendaftar beberapa kuliah negeri di sekitar Jawa Barat. Jurusan kedokteran adalah tujuan utamanya, karena menjadi dokter merupakan cita-citanya. Setelah melalui tes dan seleksi yang sengit, akhirnya Rasti diterima di Universitas di Jakarta Fakultas Kedokteran. Rasti pulang membawa berita baik atas keterimanya itu. Sesampainya di rumah Rasti dengan riang langsung memeluk ayah dan bundanya yang sedang duduk-duduk di depan rumahnya.
“Ayah .... Bunda... Aku diterima di Fakultas Kedokteran,” teriak Rasti dengan senyum mengembang.
Ayah dan bundanya hanya terdiam dan saling melihat satu sama lain.
“Kenapa Ayah dan Bunda Cuma terdiam?”, ucap Rasti dengan nada bingung. 
Akhirnya Bundanya Rasti angkat bicara,”Nanda Kita tak cukup uang untuk kamu masuk Fakultas Kedokteran. Sabar ya, Nak!”, ucap Bunda dengan lembut.
Ucapan Bundanya itu memukul senyum yang sedang mengembang di benaknya. Air mata mulai menggenangi kedua matanya. Rasti berlari secepat mungkin menuju kamarnya yang berada di dekat ruang tamu. Pintu tertutup keras menandakan emosinya Rasti menghadapi semua itu.
Setelah kejadian yang tak mungkin dilupakan Rasti itu. Rasti mulai menyadari perekonomian keluarganya, karena orang tuanya masih menanggung biaya sekolah keempat adiknya itu. Tetapi, kejadian itu tidak menyulutkan Rasti untuk berjuang melanjutkan kuliahnya itu. Rasti mencoba lagi untuk mendaftarkan kuliah di sekitar Jawa Barat. Ia mencoba mendaftar ke STPDN. Tetapi, ia tidak diterima lagi, bukan karena nilai akademiknya yang membuat ia tidak diterima, tetapi persyaratan yang sepele, yaitu tinggi badan. Rasti yang hanya mempunyai tinggi 160 cm itu, tidak lolos persyaratan yang mengharuskan minimal tinggi 165 cm. Memang hanya terpaut 5 cm tetapi itu tetaplah persyaratan.
Kejadian yang memilukan kembali memecah hati tegar Rasti. Bagaikan hari yang cerah datang awan yang gelap menyelimuti hari itu. Rasti memang tak bisa berbuat apa-apa. Tak henti-hentinya ayah dan bundanya Rasti mencoba menegakkaan lagi hingga kedua kaki Rasti mampu berpijak di ketinggian. Memang sulit, tetapi sebagai orang tua harus selalu menjadi mentari bagi anaknya yang selalu menyinari hari-hari yang sulit.
Hari-hari sulit itu telah berlalu, untuk mengobati luka hatinya itu, Rasti memutuskan untuk membantu bundanya menjaga warung kecil di depan rumahnya itu.    Sedikit demi sedikit Rasti mulai mngerti dengan kehidupan keluarganya itu. Bundanya yang beruaha keras menghadapi kesulitan hidup keluarganya itu dengan membuat bed cover. Larut malam sudah biasa menjadi teman begadang bundanya itu dengan memotongi kain perca. Bed cover yang sudah jadi dititipkan di swalayan di dekat rumahnya itu. Dari ketegaran bundanya itulah Rasti belajar tegar menghadapi cobaan yang menimpanya. Tak putus-putus untaian doa yang sepanjang hari terucap berdoa kepada Sag Khalik mendoakan bunda tercintanya agar senantiasa dikaruniai kesehatan lahir ban batin.
Suatu hari ayahnya Rasti memutuskan untuk berhenti bekerja dan berhenti berorganisasi. Doa Rasti yang dikabulkan oleh Sang Khalik. Daripada hanya berdia diri dirumah, ayahnya mulai melirik dunia usaha yang berkemungkinan besar mempunyai penghasilan yang tinggi. Sebegai langkah awal ayahnya membeli beberapa buku buku sederet profil pengusaha sukses, ayahnya mulai mengambil ilmu-ilmu dari buku itu,  sebut saja Bob Sadino, Bill Gates, SteveJobs, Richard Brason, Donald Trump, dan Elang Gumilah. Sederet pengusaha yang sukses karena mereka memulai usahanya dari awal. Buah jatuh tidak jauh dari pohonya, pilihan kata yang tepat untuk menggambarkan Rasti. Benih pohon bisnis tumbuh pesat pula mengalir di dalam darah Rasti, terlebih setelah Rasti juga mengikuti jejak ayahnya untuk membaca dan menyerap isi beberapa buku yang dibeli ayahnya itu.
Dua kegagalan di masa lalunya sudah hanyut terbawa aliran air yang terus mengalir entah sekarang dimana. Berkat usahaya dan doa yang tak henti-hentinya dilakuakn Rasti, akhirnya Rasti di terima kuliah di jurusan bahasa Inggris. Jurusan yang sebelumnya tidak terpikirkan oleh Rasti itu menjadi tujuan akhir yang dilakukan Rasti. Kendala finansial mendorong keingina  Rasti untuk merambah ke dunia kerja di samping kulia. Ia bermaksud meringankan beban keluarganya.
Terik mentari mulai mencapai puncaknya. Kendaraan yang melewati rumahnya seperti menyambar-nyabar. Udara memanas dan butiran keringat mulai menetes. Sepulang Rasti dari kampus, datang saudara sepupunya ke rumah Rasti yaitu Kak Ica. Disela-sela perbincangan yang panjang lebar itu Kak Ica sepupunya Rasti mengaja Rasti untuk berbisnis.
“Nanda, di sebelah toko Bunda ada kios yang dijual. Bagaimana kalau kita patuangan untuk membeli kios itu, lalu kita jual pakaian di sana?” kata Kak Ica.
“Ayoo, Kak. Tidak apa apa.” Saut Rasti.
Setelah kesepakatan yang dibuat Rasti dan Kak Ica itu. Akhirnya, Rasti dan Kak Ica mulai merintis bisnis pakaiaan.
Waktu memindahkan bulan demi bulan. Tak terasa bisnis yang dirintis beberapa bulan lalu, kini telah menuai hasil yang gemilang. Tak disangka sebelumnya bisnis yang ia rintis dari nol menjadi besar dan sampai memiliki perusahaan. Rasti menjadi pegusaha muda yang sukses karena ia masih berumur 20 tahun.
Suara berisik dari gesekan plastik saat para karyawan Rasti mengepak pakaian. Kincir kipas berputar menyapu keringat para karyawannya. Tidak hanya secara langsung Rasti berbisnis, melalu dunia maya juga Rasti lakukan untuk mendapatkan konsumen dari luar kota. Para pembeli berdatangan berharap mendapatkan pakainya yang bagus. Melilih dan melilah pembali lakukan. Rasti sering turun langsung dalam hal melayani para konsumennya itu. Disaat Rasti sedang bertatap langsung dengan pembeli, bunda tercinta Rasti datang.
“Wah, ternyata Nanda sudah hebat. Usahamu udah berkembang pesat dan meraup untung nih”. Sanjung  bundanya.
“Alhamdullilah bunda,ini juga berkat bantuan Kak Ica dan doa bunda dan ayah”. Jawab Rasti.
Kesibukan berbisnis tidak melemahkan prestasi di ranah akademis. Rasti berhasil mempertahankan semuanya dengan menyeimbangkan bisnis dan kuliahnya dengan memukau.
Seiring waktu berjalan, jaringan bisnis Rasti mulai meluas ke kota-kota di Indonesia. Keberhasilan Rasti dibarengi oleh ayahnya yang mempunyai jadwal padat untuk ceramah sebagai motivator mendorongku untuk membantunya. Jadilah Rasti mulai bertambah bisnis dengan berkiprah dalam dunia event organizer. Dengan berjalannya waktu bisnis ini juga menjadi besar dan jangan konsumennya juga banyak. Semua ini semakin membuka peluanguntuk berkiprah di bidang lain. Akhirnya Rasti membuka usaha satu lagi yaitu usaha penjualan tiket pesawat. Keberuntungan atas kerja keran Rasti tidaklah sia-sia bisnis yang ia bangun semuanya sekses dapat merkembang dan memiliki kantor cabang di berbagai kota di Indonesia.

Kesuksesan yang telah didapat Rasti tidaklah membuatnya menjadi angkuh dan sombong, terutama di hadapan Tuhan. Rasti memaknai semua ini denga ibadah yang tidak putus dipanjatkan Rasti, karena tanpa ridha-Nya kesuksesan ini tidaklah tercipta. Motivator dan nasehat orang tuanya selalu terpampang dalam hatinya dalam menghadapi kesulitan. 

Anda bia mendownload cerpen di atas, melalui IKI HLOO

No comments:

Post a Comment